Thursday, October 7, 2010

Rokok dan Anak

Analisis terbaru pada Survei Perilaku Berisiko pada Anak Muda tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi merokok tembakau yang terkini di antara pelajar sekolah tinggi di Amerika Serikat meningkat dari 27,5% pada tahun 1991 menjadi 36,4% pada tahun 1997 dan 42,7% pelajar mengkonsumsi rokok, tembakau yang tidak dibakar, atau cerutu selama 30 hari sebelum survey dilakukan (Center for Disease and Prevention, 1998c). Pada tahun 1997 juga terdapat peningkatan kecenderungan di antara semua subkelompok rasial dan etnik. Perilaku meroko dewasa ini meningkat menjadi 80% pada pelajar kulit hitam, 34% pada pelajar hispanik, dan 28% pada pelajar kulit putih (Centers for Disease and Prevention, 1998c).
Di Indonesia sendiri, menurut Data Survei dan Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006 menunjukkan prevalensi perokok remaja usia 15-19 tahun meningkat sebanyak 144% antara tahun 1995 dan 2004. survey ini juga memperlihatkan perook yang mulai merokok pada umur 5-9 tahun meningkat lebih dari empat kali lipat sepanjang 2001 sampai 2004. Menurut Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, melindungi anak dan perempuan dari bahaya merokok sebagai zat adiktif adalah amanat UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Maka sudah sewajarnya tren merokok pada anak ini harus dikurangi dan dihilangkan.
Merokok tentu saja tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga dapat merugikan orang lain di sekeliling si perokok, yang biasa disebut sebagai perokok pasif.
Tidak diragukan lagi bahaya rokok terhadap fungsi pernapasan si perokok dan tubuh perokok secara keseluruhan, tetapi yang lebih parah adalh bahaya adiksi yang ditimbulkan oleh rokok seumur hidup, karena semakin awal usia mulai merokok semakin sulit untuk menghentikannya di masa yang akan datang.
Remaja mulai merokok karena berbagai alasan, seperti meniru perilaku orang dewasa, tekanan dari teman sebaya, dan meniru sifat orang yang terkenal yang biasanya merokok. Komnas PA menilai, tingginya agresivitas pemasaran industri rokok menyebabkan jumlah perokok remaja mengalami lonjakan yang signifikan. Padahal secara yuridis formal UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal 113 ayat 2, dinyatakan bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang penggunaannya dapat merugikan dirinya dan masyarakat. Karena itu sepantasnya produk tembakau tidak melakukan promosi yang gencar padahal hal tersebut merupakan tindakan yang membahayakan. Sayangnya, industri rokok banyak melakukan program-program sponsorship dalam event-event di kalangan remaja. Misalnya yang terbaru dalam penyelenggaraan Java Rockin’land dimana Java Festival Production sebagai promotornya justru menempatkan mobile ticket box di kampus-kampus dan sekolah-sekolah disertai pemberian harga khusus bagi pelajar sejak Agustus 2010 lalu.
Tembakau tanpa asap yaitu produk tembakau yang dimasukkan ke dalam mulut tanpa tetapi tidak dibakar (mis. Dihirup atau dikunyah) semakin populer. Padahal produk ini telah terbukti bersifat karsinogenik, dan penggunaan yang teratur dapat menyebabkan pernapasan berbau tidak sedap, penyakit periodontal, dan pengikisan atau tanggalnya gigi. Tembakau tanpa asap juga berhubungan dengan lesi dalam jaringan lunak mulut dan dapat memicu perilaku meroko sigaret. Bahkan saat ini berkembang tren rokok elektrik, beberapa penelitian mengenai produk ini menemukan adanya banyak racun yang terkandung dalam produk rokok elektronik.
Saat ini program pencegahan anti rokok pada anak sekolah yang paling efektif adalah melalui program komunitas luas yang melibatkan orang tua, teman sebaya, media cetak, dan organisasi masyarakat. Karena merokok dan fungsi perilaku yang berhubungan dengan merokok sebagai kunci simbol sosial, kampanye anti merokok harus ditujukan pada norma-norma para calon perokok tanpa menghina atau mengancam norma-norma sosial kelompok. Dua area fokus program antirokok adalah program mengajak teman sebaya untuk menekankan akibat-akibat sosial dari merokok dan menggunakan media (kaset video dan film). Pemberian penekanan pada efek jangka pendek lebih baik dari efek jangka panjang. Larangan merokok di sekolah juga mencegah siswa mulai merokok, memperkuat pengetahuan mengenai bahaya kesehatan akibat merokok dan pajanan terhadap lingkungan dengan asap rokok, dan meningkatkan lingkungan bebas asap rokok sebagai norma. Negara bagian di Amerika harus membuat undang-undang untuk mengatur usia legal yang diperbolehkan untuk membeli rokok, begitupun di Indonesia.
Referensi :
Wong, Donna L. 2009. Buku ajar keperawatan pediatrik wong, ed. 6, vol. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

No comments:

Post a Comment

your comment here..