We always ask and pray for the best from Allah in every of our du'a.
But, are we ready for that? Are we ready to accept the best decision that Allah will give to us?
Will you be disappointed when the answer comes and it is not what you expect?
Do you think that you know what the best for yourself?
I was questioning myself a lot since last October. When our mother finally passed away, leaving a mixed feeling and never ending loss. Now there's a hole that nothing can replace in my life. I never imagined before that it's gonna be this hard. Losing someone who used to do a very important role and always there in every moments in your life, was never easy. But it happened. Bahkan hingga saat ini untuk mengatakan bahwa Beliau sudah tidak ada, begitu berat. Sungguh teramat berat.
It was all started on mid July 2022.
My mother was still under supervised and had to check regularly to hospital. But, at that time she already stated that she didn't want to get the medication or therapy from hospital anymore. She insisted to search another methods. She was tired of being hospitalized and got examined day by day. Kami mencoba memahami dan mencari informasi pengobatan lain, salah satunya dari adik Ibu. Terapi Balur. Setelah beberapa kali berunding, kami sepakat di awal Agustus itu Ibu memulai terapi balur di Nanggulan, Jogjakarta. Karena untuk jadwal terapi disana bisa lebih dulu didapatkan dibanding terapi balur di Otista, Jakarta. Keduanya sama-sama asuhan Dr. Greta Zahar, seorang fisikawan yang meneliti tentang atom dan partikelnya. Selang beberapa waktu di Jogjakarta, perut Ibu semakin membesar sehingga diputuskan untuk kembali ke Jakarta dan kontrol ke RSCM untuk menangani cairan di perutnya (asites). Sekitar 3x Ibu buang cairan di RSCM sampai akhirnya menurut dokter harus dipasang selang (pigtail) yang dapat dibuka tutup untuk membuang cairan secara mandiri di rumah, karena sel kanker di tubuh Beliau masih aktif memproduksi cairan.
It was on last August she was hospitalized at RSCM. Little did we know, on August two years ago when she was first diagnosed and went on surgery. Her doctor thought (due to her condition at that time) that she maybe could only survive for three months. She really was a survivor that she was able to kiss her granddaughter and witness her son's wedding.
Besides, ditemukan pula cairan di paru-paru sebelah kiri. Setelah 2x dibuang cairan (pungsi pleura), dokter menyarankan untuk dipasang selang di paru-parunya. Akan tetapi Ibu keberatan, karena belum lama Ibu dipasang selang di perut. Tentu sangat tidak nyaman untuk Beliau yang biasa sehari-harinya sibuk berkegiatan lalu harus terpasang alat di tubuhnya. Untuk sampai pada level acceptance terhadap selang di perut saja belum tercapai sempurna. Akhirnya dengan keyakinan bahwa terapi balur yang dijalani dapat menghilangkan kondisi tersebut, Ibu secara telaten dengan semangat menjalaninya setiap hari. Kala itu terapi balur dilanjutkan di Otista, Jakarta.
Singkat cerita, salah seorang kenalan sharing tentang terapi totok yang telah dijalaninya pada seorang ustadz yang memang berhasil menyembuhkan dirinya dan keluarganya. Ikhtiar ini kemudian kami jalani juga sambil selang-seling Ibu terapi balur. Hingga akhirnya untuk mengurangi kelelahan dan supaya fokus, Ibu hanya terapi di Pak Ustadz saja hampir setiap hari selama sebulan. Alhamdulillah kondisi tubuh Ibu membaik. Pak Ustadz pun sempat bilang, "Apabila Ibu sudah bisa enak makan insyaAllah sehat lagi." Begitu pula semangat juang Ibu yang tidak pernah pupus, termasuk ketika meminta aku untuk membeli satu jaket lagi yang sama dengan punyaku. Ibu bilang, "Ukurannya yang L, kan nanti Ibu gemuk lagi kalau udah sehat. Ibu suka jaketnya yg agak gede. Biar ga dingin kalau ke RS." Namun, hingga Ibu berpulang jaket itu belum sempat kubeli, pun Ibu belum sempat memakainya.
Awal Oktober itu Ibu masih makan secara teratur namun mulai berkurang. Hingga beberapa kali aku harus memasang infus di rumah, demi menjaga kebutuhan cairan Beliau. Namun, sejak pertengahan Oktober gejala yang dirasa semakin tidak nyaman. Ibu seringkali muntah setelah makan, bahkan bila yang masuk hanya cairan. Tanggal 16 Oktober, setelah konsultasi dengan dokter, kami memanggil homecare dari RSUI untuk memasang NGT agar makanan dapat masuk ke perut Ibu. Karena Ibu merasa makanan yang masuk hanya sampai ulu hatinya kemudian kembali keluar lagi. Namun, setelah dipasang NGT, masih tetap saja makanan cair tersebut keluar. Ketika aku bantu dengan infus pun cairan seperti tidak terdistribusi dengan baik. Lengan yang terhidrasi hanya di bagian dimana infus terpasang, sedangkan lengan sebelahnya tetap kurus kering.
Jangan ditanya apa yang aku rasakan. Sedih dan bingung, aku tidak bisa menjawab ketika Ibu tanya, "Ibu kenapa ya, Wid?". Jika mengantuk maka tidur obatnya, jika lapar maka makan obatnya. Jika tidak bisa lewat mulut seperti biasa, maka dibantu cairan jalannya. Begitulah secara rasional dan logika manusia. Namun, bagaimana jika sudah dilakukan semua cara tetapi makanan itu tak dapat masuk ke tubuhnya? Ya Allah. Sungguh manusia itu sangat kecil dihadapan-Mu. Tidak ada apa-apanya tanpa seizin-Mu. Pikiran kalutku tentu hanya akan memperburuk keadaan dan berpengaruh pada psikologis Ibu, aku hanya berdoa agar diberikan ketenangan menghadapi situasi ini.
Tanggal 20 Oktober, hari Kamis, aku putuskan untuk mengambil cuti 2 hari. Qodarullah di pagi hari itu, Ibu akhirnya setuju untuk ke RS. Sebelumnya Ibu belum mau ketika kami membujuknya untuk dibawa ke RS. Tanpa berpikir panjang pukul 06.00 pagi kami ke RSCM. Alhamdulillah di tol kami bertemu rombongan Presiden sehingga jalanan lebih lancar dari biasanya. Di perjalanan aku menghubungi Kepala Ruangan IGD yang masih satu almamater denganku, meminta bantuannya agar Ibu bisa segera mendapat penanganan. Akan tetapi katanya IGD saat itu sedang penuh, sebaiknya untuk pasien terminal seperti Ibu dirawat di rumah akan lebih nyaman. Ya Allah, saat itu aku baru sadar bahwa Ibuku sudah masuk fase terminal. Tidak, aku masih harus berusaha dan berikhtiar, begitu kataku dalam hati. Hari itu kami bermalam di RSCM, termasuk Ruru. Ibu menjalani pemeriksaan di IGD Kebidanan Lt. 3, dicek urine dan segala macamnya. Namun, hasil darah Ibu baik. Begitupun sehari sebelumnya kami cek lab Ibu di rumah, hasilnya baik. Hb normal, albumin tidak drop, leukosit baik. Tidak ada yang menjadi tanda bahaya. Bahkan cairan asites dari perut Ibu sudah berwarna seperti cairan normal kata temanku yang perawat Dharmais, kuning jernih, setelah sebelumnya berwarna merah saat pertama kali terpasang selang dan berubah menjadi coklat keruh. Kemudian malamnya Ibu dipindah kapten ke Penyakit Dalam, pindah ke IGD Lt. 1. Kami masih standby di RS hingga esok paginya aku pamit pulang dulu untuk membersihkan diri dan agar Ruru dapat istirahat di rumah.
Hari kedua di IGD, masih belum ada perubahan. Ibu sempat dibawa keluar untuk dilakukan pemeriksaan Radiologi, CT Scan Abdomen. Hasilnya tidak ada massa yang berarti, bahkan ketika diperiksa perutnya teraba soepel, tidak kaku atau keras. Selanjutnya NGT yang tadinya dipakai untuk makan diubah fungsi untuk memantau cairan lambung. Keluar cairan kecoklatan dari lambung Ibu. Saat itu kondisi Ibu semakin melemah. Jumat sore aku datang sendiri, banyak cerita aku kepada Ibu. Menceritakan tentang Ruru yang meniru Yangtinya muntah-muntah sambil pegang plastik. Ibu tertawa. Rumaisha sungguh adalah pembawa kedamaian di tengah-tengah kami seperti namanya, masyaAllah. "Ya Allah, angkatlah penyakit Ibuku, ringankanlah deritanya, jadikan penyakitnya sebagai pengugur dosa-dosanya", doaku terus-menerus. Malamnya aku pamit pulang.
Esoknya aku kembali lagi dan hari itu Ibu dipuasakan. CT Scan Abdomen baru dijelaskan sorenya kalau dari Bedah Umum tidak ada indikasi untuk dilakukan tindakan. Semua berjalan sama dan lambat. Malam itu aku kembali pulang ke rumah pukul 23.00 malam, namun telepon Bapak 2 jam kemudian pada hari Minggu jam 01.20 dini hari mengagetkan suamiku yang belum tidur. Kondisi Ibu menurun, kami segera ke RSCM saat itu juga.
Sampai di RSCM kondisi Ibu masih menurun dan sudah siap dipindah ke ruang perawatan, pukul 03.00 pagi Ibu dipindah ke ruangan Lt. 704. Turun kelas tapi tidak apa pikirku daripada di IGD yang hecctic. Sampai di ruangan adzan subuh berkumandang. Kondisi Ibu masih belum sadar sepenuhnya, lemas dan tidak berdaya. Perih sekali melihat Ibu seperti itu. Saat itu ada 2 pesan yang disampaikan oleh Ibu yaitu, "Doain Ibu, Wid" dan "Anak-anak semua hidup yang rukun berumah tangga". Karena setelahnya sudah tidak ada lagi perkataan dengan suara sejelas itu dari mulut Ibu, suara seperti saat Ibu sehat. Hari beranjak siang kondisi Ibu semakin tenang, jika tidak bisa dikatakan membaik. Malam hari itu aku pulang karena Ruru sudah terlalu lama di RS.
Hari Senin tanggal 24 Oktober pukul 10.00 aku kembali ke RSCM untuk mengurus pindah kamar. Aku meminta bantuan alumni almamaterku, Kepala Ruang Rawat dan di bagian Admisi. Setelah berkoordinasi dan negosiasi, akhirnya ada 1 kamar VIP yang bisa ditempati. Surat pertama di hari itu yang aku tanda tangani, pindah kamar rawat inap Ibu. Kemudian aku kembali ke ruangan dan menyampaikan berita kepada Ibu bahwa hari itu aku akan melakukan akad jual beli rumah. Aku meminta restu Ibu, sesuai keinginan Ibu, aku tidak boleh pindah atau pergi jauh dari Ibu.
Qodarullah ada developer yang membangun perumahan di belakang rumah orangtuaku dan Alhamdulillah aku bersama suami di hari itu akan melakukan proses akad sebagai tanda jadi pembelian rumah. Alhamdulillah juga Ibu merestui, Ibu sempat bilang kalau sebisa mungkin rumah itu untuk punya-punya saja tapi kamu tetap tinggal sama Ibu. Itulah surat kedua yang aku tanda tangani di hari itu. Sepanjang jalan dari RSCM ke tempat akad rumah aku merasa matahari menyinari jalanku, sehingga walaupun langit mendung gelap aku tidak bertemu hujan sama sekali. Doa Ibu menyertaiku. Kembali sore itu aku ke RS untuk menyampaikan bahwa semua berjalan lancar. Namun, Ibu belum dipindah ruangannya. Baru menjelang maghrib Ibu dipindah ke ruang VIP di Lt. 3 sambil sekaligus dirontgent setelah dilakukan pungsi pada paru-parunya, yang ternyata cairannya sangat minimal sekitar 50ml. Alhamdulillah efek terapi yang Ibu jalani semua menunjukkan hasil yang baik. Begitupula kondisi kulit, rambut, dan kuku Ibu, semua bersih tidak seperti orang yang habis menjalani kemoterapi.
Tidak lama setelah pindah ruangan, kondisi Ibu menurun. Menurut dokter Ibu mengalami intoksikasi morfin. Ibu diberikan morfin melalui syringe pump. Setelah ditelusuri memang Ibu seperti mengantuk terus sejak dipindah ke ruang perawatan. Seingatku juga Ibu memang tidak pernah rutin mengonsumsi morfin meskipun diresepkan saat menjalani kemo. Ibu hanya minum paling banyak 3 butir selama 12x kemo dalam kurun waktu 2 tahun 2 bulan sakitnya, karena tidak mau terlalu banyak minum obat, Ya, Ibu sekuat dan segigih itu melawan penyakit dan rasa sakitnya. Suasana malam itu sangat tidak menentu. Beberapa kali Ibu diberikan obat melalui cairan infus dan secara bolus. Denyut nadi Ibu tidak terbaca di alat tensi, teraba palpasi. Ya Allah, beginilah rasanya ketika keluarga kita sedang kritis ditangani oleh tenaga medis secara intens. Kami terus membisikkan Ibu semangat dan menyebut asma Allah. Hanya doa yang bisa kami panjatkan saat itu.
Ditambah lagi menjelang tengah malam Adik Bapak di kampung menelepon melalui panggilan video, Mbah Putri sedang kritis di RS. Di saat yang sama kedua orang yang kami cintai sedang berjuang. Bapak hanya duduk tidak berdaya, aku tahu kalau sebenarnya Bapak juga sedang tidak dalam kondisi fit. Namun, sudah sejak lama Bapak mengabaikan kondisi kesehatannya karena ingin fokus merawat Ibu yang sedang sakit. Katanya, "Kalau sakit, nanti yang ngurusin bolak balik siapa". Dan akhirnya, 25 Oktober dini hari sekitar pukul 00.30 WIB, kami harus mengikhlaskan Mbah Putri pergi untuk selamanya di usianya yang ke-97 tahun. Semoga Mbah Putri husnul khotimah dan kuburnya dijadikan Taman Surga, Aamiin Allahumma Aamiin. Sementara itu, kondisi Ibu kembali berangsur pulih. Kami semua bermalam di RS, kecuali suamiku dan Ruru yang sempat pulang ke rumah setelah mengajar. Aku baru pamit pulang esok paginya dan kembali lagi ke RS sore hari. Siang hari itu perasaanku sangat kalut, aku sempatkan membaca Al-Qur'an untuk menenangkan diri dan mengikuti saran dari temanku untuk ikhlas dan pasrah meminta yang terbaik menurut Allah.
Sore hari Ibu dipasangkan alat monitor jantung, untuk memantau kondisi setelah diberikan obat untuk memacu denyut nadi semalam. Aku masih tinggal sampai sekitar pukul 22.00, bergantian dengan Adik-adikku yang malam itu bermalam di RS hingga subuh esok harinya dia harus kembali ke Asrama. Sampai ketika pukul 06.00 pagi Bapak menelepon karena kondisi Ibu menurun. Segera kami ke RS bersama Ruru dan Mbaknya juga, dengan harapan Ruru bisa dibawa masuk ke ruang perawatan, akan tetapi tidak boleh karena peraturan RS semakin ketat saat pandemi ini.
Seharian itu Ibu masih bisa diberikan minum sedikit demi sedikit dengan cara ditetes melalui sedotan. Namun, kembali keluar dengan warna hijau tetapi seperti air biasa bentuknya, bukan lendir. Terhitung 3x Ibu sempat muntah seperti itu dengan jeda setiap 1-2 jam. Ketika kami semua satu persatu datang Ibu seperti menyampaikan sesuatu kepada kami masing-masing melalui tatapan matanya, terlebih saat suamiku masuk ke ruangan. Sepertinya banyak sekali pesan Ibu untuk suamiku. Ibu sangat menyayangiku, Ibu seperti menitipkan aku kepada suamiku. Cinta Ibu tidak berkurang meskipun saat itu tubuhnya sudah sangat lemah dan entah apalagi yang dirasakan oleh Ibu. Aku sempat sampaikan kepada Ibu bahwa aku dan adikku mendukung apapun pilihan Ibu. Bapak sempat bertanya, apa masih ada keinginan dan tanggungan yang belum terselesaikan. Ibu dengan sisa tenaganya menjawab tidak ada. Di waktu adzan dzuhur aku dan Bapak serentak membisikkan niat sholat dzuhur di telinga kanan dan kiri Ibu sambil setelahnya tak putus melantunkan dzikir, "Allah."
Hingga tidak lama setelah rekan-rekan kantorku yang sempat menjenguk pulang, aku duduk lagi di samping Ibu, mengusap lengan Ibu. Aku sempat melihat mata Ibu tertutup seperti kebiasaan Ibu ketika ingin bersin, tetapi mata Ibu tidak terbuka kembali hanya helaan napas pelan terhembus. Kemudian terulang lagi seperti menahan ingin bersin, kemudian tidak kembali lagi. Aku melirik jam di tangan kiriku yang sedang mengusap kepala Ibu, 14.17 WIB. Hari Rabu, 26 Oktober 2022 di sekitar waktu itu, Ibu meninggalkanku, meninggalkan kami, untuk selamanya. Ya Allah, dari-Mu kami berasal dan hanya kepada-Mu lah tempat kami kembali. Jadikan Ibu bidadari surga-Mu. Tetapkanlah husnul khotimah sebagai akhirnya. Hapuskanlah segala dosanya seiring dengan penderitaannya selama sakit. Terimalah seluruh amal perbuatannya, amal jariyahnya, kebaikannya semasa hidup. Terangilah jalannya dengan semangat kesembuhannya. Sesungguhnya Ibu selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran, menjadi pengingat bagi siapapun yang ada di sekitarnya.
Sungguh berat, teramat berat kehilangan seorang Ibu. Terutama ketika aku baru menjadi seorang Ibu. Begitu banyak yang ingin aku tanyakan kepada Ibu bagaimana Beliau merawatku ketika aku kecil. Apakah anakku sama seperti saat aku kecil. Apa yang harus aku lakukan saat mengalami hal yang serba pertama kali nantinya, ketika ada hal yang belum pernah aku alami sebelumnya. Namun, inilah kenyataannya. Inilah jawaban terbaik dari-Nya atas doa-doa kami. Siap tidak siap, kami harus menerimanya. Kami harus menjalaninya. Takdir dari Allah adalah yang terbaik, itu yang harus kami yakini. Tidak ada yang bisa menghapus apa yang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz, dimana semua sudah tertulis sejak ribuan tahun lalu. Pena telah terangkat, tinta sudah mengering. Hanya tinggal kita yang menjalaninya dengan keyakinan bahwa Allah pasti menyayangi setiap hamba-Nya yang beriman. Eventhough this was still like a dream for me, that I want to wake up and see that everything was fine.
Satu hal yang tidak aku sesali adalah aku berada di sisi Ibuku di hari-hari terakhirnya. Aku masih bisa banyak mengobrol meskipun most of the time hanya satu arah dengan Ibu. Namun aku yakin Ibu masih mendengarku, karena saat diperdengarkan murottal juz 'amma Ibu dapat mengikuti dengan baik. That was my mother, yang selalu mengajarkan bahwa kekuatan kita asalnya dari Allah. Berbuat baik itu adalah hal yang terpenting dalam hidup. Karena apa gunanya berilmu tapi tidak diamalkan, justru karena amal perbuatanlah yang dapat menolong kehidupan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kata terima kasih tidak akan pernah cukup kuucapkan untuk Ibu. Maafkan aku yang banyak salah kepada Ibu, yang saat itu belum memahami bentuk cinta Ibu. Aku sayang Ibu. Aku rindu Ibu. Semoga Ibu saat ini menjadi bidadari paling bercahaya dan bahagia dalam Taman Surga Allah.
Aamiin Allahumma Aamiin.
No comments:
Post a Comment
your comment here..